Foto Waduk Pacal
“Memang sejak tahun 1933 Wadul Pacal itu dibangun, sudah menjadi pusat
kemahsyuran para petani di kabupaten ini. Konon sebanyak 41 juta meter kubik
sawah diairi waduk ini. Tapi, semenjak terjadi pendangkalan 200.000 meter kubik
setiap tahunnya belakangan ini, banyak pertanian mati dan kami beralih ke
wisata. Nah, sekarang kita akan sampai. Kalau dari arah Klino, bias langsung ke
timur sekitar 6 km. Di pertigaan pertama, ambil jalan beraspal, sekitar 100
meter dari pertigaan, ada jalan setapak ke kiri. Ikuti jalan itu, 200 meter
akan sampai di objek wisata ini.”
“Kalau
itu gunung apa?” Tunjuk wisatawan kea rah gunung degan jarum di puncaknya.
“Oh,
itu Gunung Pandan, tapi tempat itu bukan untuk wisata, puncaknya sangat sempit
dan dipenuhi jarum* itu. Tidak seperti Air Terjun Krondonan ini.”
Ujarnya sambal menelan ludah.
Samar-samar
langgar-langgar mengumandangkan adzan Ashar, cukup menjadi tanda bahwa tour
akan selesai. Wisatawan itu kemudian merogoh sakunya dan memberinya beberapa
rupiah untuk melepas dahaganya setelah tiga jam lamanya memberi penjelasan.
Sambil menundukkan kepala, ia pun pergi.
Seperti
biasa, anak-anak bergegas menuju langgar terdekat, dengan membawa satu pensil,
satu buku Iqra, dan satu kelereng yang diharapkan bisa cloning**. Tapi wajah anak ini muram durja, kelam,
membiarkan rambut merahnya tergerai melapisi wajahnya.
“Tidak
ada sayur lumbu, maupun bunga kunyit jika kau tidak berangkat.”
“Tak
apa, aku bisa mengambilnya sendiri di Pandan.”
“Taka
da yang boleh ke gunung itu. Tidak pula untukmu.”
“Nyatanya
ayah Sholih sehat-sehat saja itu!”
Ibu
terbungkam, tangannya meremas-remas menahan sesuatu. Tina tahu, setiap ia
menyebut Pandan, wajahnya memerah padam. Kemudian ibu menangis. Setiap ditanya
pasti tidak mau menjawab, lalu marah, lalu menutup selambu, dan tidak akan ada
makanan di esok hari. Selalu begitu, terlalu mudah ditebak.
“Ah!
Ibu ini sakit!” Teriak Tina yang sudah lelah dengan sikap ibunya.
Benar
saja, keesokan harinya, taka da makanan yang tersaji di meja.
“Mungkin
karena Eyang Derpo.”
“Eyang
lagi eyang lagi. Aku sudah cukup puas dengan cerita Tuti dan Asti yang
dilebih-lebihkan itu!”
“Kalau
memang Eyang Derpo tidak ada, seharusnya setiap pagi tidak ada sesajen di bawah
Pohon Sirsak itu. Tidak, Tin. Aku yakin pasti mereka benar”
“Kau
itu seperti orang tua saja. Akan kubuktikan, Lih. Ikut tidak?”
“Apa?
Mana mungkin aku melakukannya? Apalagi bersamamu”
Tina
hanya mengernyit pada Sholih, satu-satunya teman yang bisa menyimpan
rahasianya. Kemudian meninggalkannya.
Ketika
malaikat turun ke bumi di hari yang baru, ia mengendap-endap di atas lantai
tanah, lalu membuka pintu pagar kecil dari belakang. Aman, ibunya masih
terlelap di atas ranjang tipis dengan kipas yang sudah tak bisa menengok lagi.
“Tin.”
“Ha!”
Teriak Tina kaget. Ternyata Sholih menunggunya sejak tadi.
“Kau
ikut?”
“Tentu,
aku tidak mugkin meninggalkan sahabatku sendiri. Lagipula bapak juga sudah
banyak berceritatentang medan di gunung itu.”
Ceritapun
dimulai, simetris pula dengan perjalanannya. Mereka menyusuri jalan setapak
seiring bersinarnya mentari. Jalanan itu masih memiliki jejak, namun tertutup
oleh rotan-rotan yang bergemelantungan. Suara ayam hutan dan jangkrik tak
pernah berhenti, bersembunyi di antara pohon heterogen yang ratusan tahun
lamanya mencengkeram gunung itu. Sholih selalu menunjuk-nunjuk tanaman yang
biasa dijual di pasar. Bunga kunyit, talas, kunci, pisang, dan pandan yang
menjadi nama gunung itu sendiri.
“Itu
towernya!” Teriak Tina.
“Kecil
sekali dari rumah”
“Bukankah
hebat jika kita ceritakan ini pada Tuti dan Asti?”
Sejenak
mereka duduk di atas batu besar, sambal menikmati pemandangan sekitar, dan
menghadap ke tower PT. KAI Indonesia, yang selama ini hanya Nampak seperti
jarum. Tak lama, dedaunan bergerisik kencanng, suara-suara ayam hutan tiba-tiba
berhenti. Hujan lebat menghujam, dihampiri angin yang semburat kencang,
menciptakan aerofon alami yang memekakkan telinga. Ada yang menangis, mereka
mencari-cari tangisan itu. Nihil. Suara itu semakin jelas di telinga mereka,
mirip dengan ibu Tina, yang samar-samar berbisik meminta pulang.
“Pemondokan!
Tepat di bawah batu! Ayo, cepat!” Teriak Tina.
“Bagaimana
kalua itu rumah Eyang Derpo?”
“Kamu
ini bagaimana, sih. Mau selamat apa tidak?”
Kemudian
mereka bergegas ke pemondokan itu. Sholih yang bertubuh jangkung itu menutupi
Tina sehingga tak terlalu basah.
“Lih,
aku takut” Sambarnya sambal bergetar.
“Katanya,
kalua kita berdo’a di sini. Do’a kita akan dikabulkan, Tin. Aku dengar dari
bapak, katanya banyak orang kemari untuk berobat dan memohon bantuan Eyang
Derpo”
Kali
ini Tina hanya bisa mengangguk, tak tahu lagi apa yang diperbuatnya. Kemudian
mereka berdo’a. Tak jelas berdo’a apa, seolah multnya bergerak sendiri
komat-kamit, dan seketika itu, hujan berhenti. Gelap. Suara itu menghilang.
Tiba-tiba wajah Sholih berubah, matanya menjadi putih. Ia berteriak keras. Lalu
pingsan.
“E..
Eyang Derpo!” Sosok eyang itu telah moksa***, tubuhnya tergantikan
dengan harimau putih, tepat di depan Tina, mengaum sedemikian kerasnya, membuat
jantung Tina serasa ingin copot. Tina hendak lari, namun tubuhnya terlalu kecil
untuk melewati harimau yang besarnya menutup seluruh celah pemondokan. Kulitnya
bergidik, dan kakinya terasa kaku untuk berdiri.
Tiba-tiba
Tina terduduk kaku, diam.
Lalu
mengucapkan beberapa kata yang berasal dari alam bawah sadarnya.
“Lih,
bangun. Ayo pulang” Sholih hanya diam, lalu menurutinya.
Satu
jam berlalu, mereka sampai di lereng dan pulang ke rumahnya masing-masing.
Namun, ibu Tina tidak di sana. Ia kemudian mencarinya ke tempat kerja. Ia
hendak segera minta maaf dan menceritakan apa-apa yang diperbuatnya.
“Lho, nduk, sedang apa kamu di sini? Mana
ibumu?” Tanya Bu Lastri, teman kerja ibu di balai desa yang biasa juga
mengantar para wisatawan berkeliling Desa Klino dan sekitarnya. Yang selalu
mengantar bunga kunyit ke rumahnya.
“Ibu
tidak bekerja?”
“Tidak,
sudah dua hari ibumu tidak muncul, terakhir kali ia bekerja ibumu sangat
gelisah karena tak melihatmu pagi itu. Kemudian setelah itu, ibumu tak pernah
terlihat lagi. Dan sekarang, lihatlah dirimu, pucat sekali, tubuhmu bau tanah.
Darimana saja kamu?”
“Gunung
Pandan.”
Seketika
wajah bu Lastri datar, lalu matanya membelalak.
“Apa
kau bertemu dengan Eyang Derpo?”
“Ya.”
“Apa
yang kau katakan?”
“Aku berkata agar ibuku tidak sakit
lagi.”NB :
*tower PT. KAI yang terlihat kecil seperti jarum dari kejauhan.
**Bahasa Inggris, artinya duplikasi;digandakan.
*** Bahasa Kawi, artinya hilang.
Sign up here with your email