Cerita Singkat Objek Wisata Waduk Pacal Bojonegoro

MOKSA
Oleh: Ramadhita Umitaibatin ( SMAN 1 Bojonegoro )

Foto Waduk Pacal


“Memang sejak tahun 1933  Wadul Pacal itu dibangun, sudah menjadi pusat kemahsyuran para petani di kabupaten ini. Konon sebanyak 41 juta meter kubik sawah diairi waduk ini. Tapi, semenjak terjadi pendangkalan 200.000 meter kubik setiap tahunnya belakangan ini, banyak pertanian mati dan kami beralih ke wisata. Nah, sekarang kita akan sampai. Kalau dari arah Klino, bias langsung ke timur sekitar 6 km. Di pertigaan pertama, ambil jalan beraspal, sekitar 100 meter dari pertigaan, ada jalan setapak ke kiri. Ikuti jalan itu, 200 meter akan sampai di objek wisata ini.”
            “Kalau itu gunung apa?” Tunjuk wisatawan kea rah gunung degan jarum di puncaknya.
            “Oh, itu Gunung Pandan, tapi tempat itu bukan untuk wisata, puncaknya sangat sempit dan dipenuhi jarum* itu. Tidak seperti Air Terjun Krondonan ini.” Ujarnya sambal menelan ludah.
            Samar-samar langgar-langgar mengumandangkan adzan Ashar, cukup menjadi tanda bahwa tour akan selesai. Wisatawan itu kemudian merogoh sakunya dan memberinya beberapa rupiah untuk melepas dahaganya setelah tiga jam lamanya memberi penjelasan. Sambil menundukkan kepala, ia pun pergi.
            Seperti biasa, anak-anak bergegas menuju langgar terdekat, dengan membawa satu pensil, satu buku Iqra, dan satu kelereng yang diharapkan bisa cloning**. Tapi wajah anak ini muram durja, kelam, membiarkan rambut merahnya tergerai melapisi wajahnya.
            “Tidak ada sayur lumbu, maupun bunga kunyit jika kau tidak berangkat.”
            “Tak apa, aku bisa mengambilnya sendiri di Pandan.”
            “Taka da yang boleh ke gunung itu. Tidak pula untukmu.”
            “Nyatanya ayah Sholih sehat-sehat saja itu!”
            Ibu terbungkam, tangannya meremas-remas menahan sesuatu. Tina tahu, setiap ia menyebut Pandan, wajahnya memerah padam. Kemudian ibu menangis. Setiap ditanya pasti tidak mau menjawab, lalu marah, lalu menutup selambu, dan tidak akan ada makanan di esok hari. Selalu begitu, terlalu mudah ditebak.
            “Ah! Ibu ini sakit!” Teriak Tina yang sudah lelah dengan sikap ibunya.
            Benar saja, keesokan harinya, taka da makanan yang tersaji di meja.
            “Mungkin karena Eyang Derpo.”
            “Eyang lagi eyang lagi. Aku sudah cukup puas dengan cerita Tuti dan Asti yang dilebih-lebihkan itu!”
            “Kalau memang Eyang Derpo tidak ada, seharusnya setiap pagi tidak ada sesajen di bawah Pohon Sirsak itu. Tidak, Tin. Aku yakin pasti mereka benar”
            “Kau itu seperti orang tua saja. Akan kubuktikan, Lih. Ikut tidak?”
            “Apa? Mana mungkin aku melakukannya? Apalagi bersamamu”
            Tina hanya mengernyit pada Sholih, satu-satunya teman yang bisa menyimpan rahasianya. Kemudian meninggalkannya.
            Ketika malaikat turun ke bumi di hari yang baru, ia mengendap-endap di atas lantai tanah, lalu membuka pintu pagar kecil dari belakang. Aman, ibunya masih terlelap di atas ranjang tipis dengan kipas yang sudah tak bisa menengok lagi.
            “Tin.”
            “Ha!” Teriak Tina kaget. Ternyata Sholih menunggunya sejak tadi.
            “Kau ikut?”
            “Tentu, aku tidak mugkin meninggalkan sahabatku sendiri. Lagipula bapak juga sudah banyak berceritatentang medan di gunung itu.”
            Ceritapun dimulai, simetris pula dengan perjalanannya. Mereka menyusuri jalan setapak seiring bersinarnya mentari. Jalanan itu masih memiliki jejak, namun tertutup oleh rotan-rotan yang bergemelantungan. Suara ayam hutan dan jangkrik tak pernah berhenti, bersembunyi di antara pohon heterogen yang ratusan tahun lamanya mencengkeram gunung itu. Sholih selalu menunjuk-nunjuk tanaman yang biasa dijual di pasar. Bunga kunyit, talas, kunci, pisang, dan pandan yang menjadi nama gunung itu sendiri.
            “Itu towernya!” Teriak Tina.
            “Kecil sekali dari rumah”
            “Bukankah hebat jika kita ceritakan ini pada Tuti dan Asti?”
            Sejenak mereka duduk di atas batu besar, sambal menikmati pemandangan sekitar, dan menghadap ke tower PT. KAI Indonesia, yang selama ini hanya Nampak seperti jarum. Tak lama, dedaunan bergerisik kencanng, suara-suara ayam hutan tiba-tiba berhenti. Hujan lebat menghujam, dihampiri angin yang semburat kencang, menciptakan aerofon alami yang memekakkan telinga. Ada yang menangis, mereka mencari-cari tangisan itu. Nihil. Suara itu semakin jelas di telinga mereka, mirip dengan ibu Tina, yang samar-samar berbisik meminta pulang.
            “Pemondokan! Tepat di bawah batu! Ayo, cepat!” Teriak Tina.
            “Bagaimana kalua itu rumah Eyang Derpo?”
            “Kamu ini bagaimana, sih. Mau selamat apa tidak?”
            Kemudian mereka bergegas ke pemondokan itu. Sholih yang bertubuh jangkung itu menutupi Tina sehingga tak terlalu basah.
            “Lih, aku takut” Sambarnya sambal bergetar.
            “Katanya, kalua kita berdo’a di sini. Do’a kita akan dikabulkan, Tin. Aku dengar dari bapak, katanya banyak orang kemari untuk berobat dan memohon bantuan Eyang Derpo”
            Kali ini Tina hanya bisa mengangguk, tak tahu lagi apa yang diperbuatnya. Kemudian mereka berdo’a. Tak jelas berdo’a apa, seolah multnya bergerak sendiri komat-kamit, dan seketika itu, hujan berhenti. Gelap. Suara itu menghilang. Tiba-tiba wajah Sholih berubah, matanya menjadi putih. Ia berteriak keras. Lalu pingsan.
            “E.. Eyang Derpo!” Sosok eyang itu telah moksa***, tubuhnya tergantikan dengan harimau putih, tepat di depan Tina, mengaum sedemikian kerasnya, membuat jantung Tina serasa ingin copot. Tina hendak lari, namun tubuhnya terlalu kecil untuk melewati harimau yang besarnya menutup seluruh celah pemondokan. Kulitnya bergidik, dan kakinya terasa kaku untuk berdiri.
            Tiba-tiba Tina terduduk kaku, diam.
            Lalu mengucapkan beberapa kata yang berasal dari alam bawah sadarnya.
            “Lih, bangun. Ayo pulang” Sholih hanya diam, lalu menurutinya.
            Satu jam berlalu, mereka sampai di lereng dan pulang ke rumahnya masing-masing. Namun, ibu Tina tidak di sana. Ia kemudian mencarinya ke tempat kerja. Ia hendak segera minta maaf dan menceritakan apa-apa yang diperbuatnya.
            “Lho, nduk, sedang apa kamu di sini? Mana ibumu?” Tanya Bu Lastri, teman kerja ibu di balai desa yang biasa juga mengantar para wisatawan berkeliling Desa Klino dan sekitarnya. Yang selalu mengantar bunga kunyit ke rumahnya.
            “Ibu tidak bekerja?”
            “Tidak, sudah dua hari ibumu tidak muncul, terakhir kali ia bekerja ibumu sangat gelisah karena tak melihatmu pagi itu. Kemudian setelah itu, ibumu tak pernah terlihat lagi. Dan sekarang, lihatlah dirimu, pucat sekali, tubuhmu bau tanah. Darimana saja kamu?”
            “Gunung Pandan.”
            Seketika wajah bu Lastri datar, lalu matanya membelalak.
            “Apa kau bertemu dengan Eyang Derpo?”
            “Ya.”
            “Apa yang kau katakan?”
            “Aku berkata agar ibuku tidak sakit lagi.”



NB :
*tower PT. KAI yang terlihat kecil seperti jarum dari kejauhan.
**Bahasa Inggris, artinya duplikasi;digandakan.
*** Bahasa Kawi, artinya hilang.
Previous
Next Post »